Ia Mencintaiku Dalam Mode Gelap
Lampu kristal menggantung rendah di aula, memantulkan cahaya redup di gaun sutraku. Di bawahnya, aku berdiri, tenang, seolah malam ini hanyalah perayaan biasa. Padahal, jantungku berdebar seperti burung yang terperangkap dalam sangkar emas.
Li Wei, lelaki yang kucintai sepenuh jiwa, berjalan mendekat. Senyumnya, yang dulu selalu berhasil membuatku luluh, kini terasa seperti senyum seorang penipu. Mata tajamnya, yang dulu kuanggap penuh kasih sayang, kini memancarkan kalkulasi dingin.
"Kau cantik sekali, Qing Yue," bisiknya, suaranya rendah dan merdu.
Dulu, bisikan itu akan membuatku merona. Sekarang, hanya membuatku merinding. Pelukannya, yang dulu kurasakan sebagai tempat teraman di dunia, kini terasa seperti pelukan beracun.
Aku membalas senyumnya, sebuah senyum yang kulatih di depan cermin selama berminggu-minggu. Senyum yang menyembunyikan kehancuran total di dalam diriku. Senyum yang akan menjadi senjataku.
Li Wei akan menikahi Lin Mei, putri keluarga Lin yang kaya raya. Perusahaan kami terancam bangkrut, dan pernikahan ini adalah jalan keluar baginya. Aku mengerti. Aku sangat mengerti.
Malam itu, di atas panggung, Li Wei mengucapkan janji setianya pada Lin Mei. Kata-kata itu bergema di telingaku, setiap suku kata terasa seperti belati yang menusuk jantungku. Dulu, kata-kata itu diucapkannya untukku. Dulu, aku adalah dunianya.
Aku mengangkat gelas sampanye, menatap cairan berkilauan di dalamnya. Kehilangan itu bagaikan kabut tebal, menyelimuti setiap sudut hatiku. Aku tidak akan berteriak. Aku tidak akan menangis. Aku akan membuat mereka menyesal.
Beberapa bulan kemudian, berita tentang merger antara perusahaan Lin dan perusahaan kami diumumkan. Aku, Qing Yue, ditunjuk sebagai CEO. Li Wei terlihat pucat, matanya memohon.
"Qing Yue, kumohon..."
Aku memotong perkataannya dengan senyum dingin. "Kau tahu, Li Wei, aku selalu mengagumi ambisimu. Kau sangat berani mengambil risiko, bukan?"
Aku membalikkan badan, meninggalkannya berdiri di sana, di tengah pesta yang dulu menjadi miliknya. Aku tahu, kehancurannya akan sempurna. Bukan kehancuran fisik, melainkan kehancuran jiwa. Setiap malam, dia akan terbayang-bayang olehku, oleh penyesalannya.
Aku menatap pantulan diriku di jendela. Seorang wanita yang kuat, elegan, dan benar-benar sendiri. Kemenangan ini terasa manis dan pahit.
Cinta dan dendam... lahir dari tempat yang sama.
You Might Also Like: China Es El Nucleo De Las Tensiones En
0 Comments: