Langkahnya gontai, menembus derasnya hujan yang menggigilkan hingga ke tulang sumsum. Awan kelabu memayungi kota, persis seperti hatinya yang diliputi mendung bertahun-tahun lamanya. Lin berjalan menyusuri jalan setapak yang basah, menuju tempat yang paling dihindarinya: kedai teh kecil di tepi sungai, tempat dulu ia dan Jian saling mengikat janji.
Kedai itu tidak banyak berubah. Meja kayu yang sama, kursi rotan yang berderit, dan lentera merah redup yang cahayanya seolah bernafas dengan susah payah. Jian sudah menunggunya di sana, duduk dengan punggung tegap, sorot mata tajam yang dulu begitu dicintainya, kini terasa asing dan menusuk.
"Sudah lama," ucap Jian datar, tanpa senyum sedikit pun. Hujan di luar semakin menjadi-jadi, seolah alam pun ikut merasakan kepedihan yang menguar di antara mereka.
Lin hanya mengangguk, tenggorokannya tercekat. Bayangan masa lalu berkelebat di benaknya: tawa riang mereka di bawah pohon sakura yang bermekaran, bisikan mesra di bawah rembulan purnama, dan janji setia yang kini terasa seperti duri yang menghujam jantungnya.
"Kau ingat tempat ini?" tanya Lin lirih, suaranya hampir tenggelam oleh deru hujan.
Jian mengangkat cangkir tehnya, menyesapnya perlahan. "Bagaimana aku bisa lupa? Tempat di mana kau menikamku dari belakang."
Lin tersentak. Luka itu, luka yang selalu berusaha dipendamnya, kembali menganga. Ia tahu, ia pantas mendapatkan kata-kata itu. Pengkhianatan itu, KEBOHONGAN itu, telah menghancurkan segalanya. Tapi apa Jian tahu, bahwa ia juga hancur karenanya?
"Aku…" Lin mencoba menjelaskan, namun kata-katanya tertahan di kerongkongan.
"Tidak perlu. Aku tidak tertarik dengan penjelasanmu," potong Jian dingin. Ia meletakkan cangkir tehnya dengan kasar, hingga menimbulkan bunyi dentingan yang memekakkan telinga. "Aku hanya ingin kau tahu, Lin, bahwa selama ini aku tidak pernah melupakan apa yang kau lakukan."
Lin menatap Jian dengan mata berkaca-kaca. Cahaya lentera yang nyaris padam seolah menyoroti bayangan patah di antara mereka. Ia melihat amarah yang membara di balik mata Jian, api yang telah lama dipendam dan kini siap melahapnya.
"Kau… kau membenciku?" tanya Lin dengan suara bergetar.
Jian tersenyum sinis. "Benci? Oh, itu terlalu sederhana, Lin. Kau akan mengerti sebentar lagi."
Kemudian, dengan gerakan tiba-tiba, Jian mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari balik jasnya dan meletakkannya di atas meja. Lin menatap amplop itu dengan bingung.
"Buka," perintah Jian singkat.
Dengan tangan gemetar, Lin membuka amplop itu. Di dalamnya, ia menemukan beberapa lembar foto. Foto-foto yang membuatnya membeku di tempat. Foto-foto yang menunjukkan kebusukan keluarganya, rahasia kelam yang selama ini berusaha dikuburnya dalam-dalam.
"Kau…" Lin mendongak, menatap Jian dengan horor. "Bagaimana bisa…?"
Jian tersenyum lebar, senyum yang tidak pernah dilihat Lin sebelumnya. Senyum yang menakutkan, senyum seorang pemenang yang telah lama merencanakan pembalasannya.
"Selama ini, kau kira aku menderita dalam diam, Lin? Kau salah besar. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk menyingkapkan semua ini. Sekarang, giliranmu yang merasakan sakitnya," bisik Jian, suaranya serak dan mengancam.
Lin mundur selangkah, tubuhnya bergetar hebat. Ia baru menyadari, bahwa selama ini ia telah menjadi pion dalam permainan yang jauh lebih besar. Permainan yang dirancang dengan cermat oleh Jian, untuk menghancurkan hidupnya perlahan tapi pasti.
Hujan semakin deras, menyembunyikan air mata yang mengalir di pipi Lin. Ia menatap Jian, mencoba mencari secercah belas kasihan di matanya. Namun yang ia temukan hanyalah kebencian yang membara.
"Kenapa, Jian? Kenapa kau melakukan semua ini?" tanya Lin putus asa.
Jian mendekat, membungkuk ke arah Lin, berbisik di telinganya dengan suara yang dingin dan menusuk. "Karena rahasia keluarga Han bukanlah satu-satunya bom waktu yang siap meledak, Lin. Masih ada satu lagi, yang jauh lebih besar, yang melibatkan kelahiranmu sendiri..."
You Might Also Like: 0895403292432 Distributor Kosmetik