Embun pagi masih menempel di kelopak teratai, namun hatiku sudah membeku. Di hadapanku, berdiri dia, Lan Xiwei. Bukan lagi gadis polos yang kucintai di bawah pohon mei yang bermekaran dulu. Kini, sorot matanya sedalam jurang, sedingin es di puncak Kunlun.
Dulu, pedangku, pedang yang seharusnya melindunginya, justru menembus dadanya. Kesalahan pahit di masa lalu, ketika aku terperangkap dalam intrik perebutan kekuasaan, ketika aku dibutakan oleh ambisi. Aku mengkhianati janjiku, mengkhianati cintaku. Dia jatuh, dan bersamanya, runtuh pula hatiku.
"Zhuo Yifan," bisiknya, suaranya serak seperti desahan angin di padang pasir. Nama itu, nama yang dulu diucapkannya dengan penuh kasih, kini terdengar seperti kutukan. "Kau ingat janji kita di bawah pohon mei? Kau ingat sumpah setia yang kau ikrarkan di depan bulan purnama?"
Aku terdiam. Lidahku kelu. Bagaimana mungkin aku melupakan semua itu? Setiap detik, setiap mimpi, selalu terisi bayangan wajahnya. Wajah yang kini menatapku dengan kebencian yang membakar.
"Aku…aku khilaf, Xiwei. Aku…aku menyesal."
Senyum sinis merekah di bibirnya yang dulu selalu memancarkan kelembutan. "Menyesal? Apakah penyesalanmu bisa mengembalikan nyawa yang kau renggut? Apakah penyesalanmu bisa menghapus luka di hatiku? LUKA INI, ZHUO YIFAN, AKAN ABADI!"
Dia mengangkat tangannya, menunjukkan bekas luka yang tersembunyi di balik jubahnya. Bekas tusukan pedangku. Bekas luka yang kini terukir pula di jiwaku.
Aku berlutut di hadapannya, memohon ampun. "Hukumlah aku, Xiwei. Bunuh aku jika itu bisa meringankan beban hatimu."
Dia tertawa. Tawa yang hampa, tawa yang membuatku merinding. "Membunuhmu? Itu terlalu mudah. Dendam ini terlalu manis untuk dibiarkan berlalu begitu saja."
Dia berbalik, melangkah menjauh, meninggalkan aku dalam lautan penyesalan yang tak bertepi.
"Kau lihat istana megah itu, Zhuo Yifan? Itu hasil kerja kerasku. Aku membangunnya di atas pengkhianatanmu. Aku akan melihatmu menderita karena cinta yang tak terbalas, karena kekuasaan yang kau idam-idamkan, karena kehilangan yang tak terhindarkan."
Dia berhenti di ambang pintu. Tanpa menoleh, dia melanjutkan, "Dan jangan lupa, Zhuo Yifan, kau telah memberikan benih kepada musuh terbesarmu. Benih yang akan tumbuh dan membalaskan dendamku. Takdir memiliki caranya sendiri untuk menuntut keadilan."
Angin berdesir lembut, membawa aroma mei yang pahit.
Cinta dan dendam menari bersama dalam rahim takdir, menunggu buah terlarang itu matang.
You Might Also Like: Agen Skincare Jualan Online Mudah Kota
0 Comments: